marriage tips

3+ How to Deal with Relationship

Having flaws doesn’t mean that there is something wrong with us. If no one is perfect, then imperfection is the norm and we don’t need to fight it, reject it, or try to change it.”

Bulan Oktober!!! Tandanyaaaaaa ulang tahun hari jadi saya dan Putra. Tandanya juga, kadar cintanya harus naik kelas. Hahaha. Never stop loving your husband/wife ya kan.

Setiap tanggal 10 Oktober, sengaja-nggak sengaja bakalan throwback masa-masa dulu. Terus kadang-kadang terbesit (terbesitnya jarang banget sih) baca status Facebook waktu berbunga-bunga dulu. Ieeewwww merinding bacanya. Lebih serem baca status FB daripada nonton film horor.

How We Met

Jadi dulu, saya dan Putra bersekolah di SMP yang sama namun SMA yang berbeda. Waktu SMP kami sama-sama masuk ekstrakurikuler Bahasa Indonesia. Itungannya nggak begitu kenal karena hampir nggak pernah ngobrol. Sempat ngobrol pun karena pembuatan mading sekolah dimana saya dan Putra ditugaskan membuat artikel. Tapi salah, saya malah buat opini. Si Putra nyalahin saya tuh. Ya maklum dulu masih bingung antara artikel dan opini. Salahnya Putra juga sih dia kagak mau ngerjain! 😝

Pokoknya waktu SMP tuh tau Putra pun karena dia Ketua OSIS. Selain itu, “Oh yang kalau pacaran di bangku semen pinggir lapangan itu?” Secara dulu kelas saya di lantai dua, dan kadang mata ini menyisir lapangan dan menemukan dua sejoli itu. Kalau saya bahas ini, Putra pasti malu-malu gimana gitu. Hahaha peace, Sayang!

How We Started to Communicate

Singkat cerita, dulu saya dan Putra pendekatan selama empat bulan setelah sama-sama belum lama putus. Yang mulai obrolan sih Putra ya yang kepo kenapa saya putus. Hercek sama nih orang tiba-tiba message FB padahal “Eh? Siapa elo?” Tapi Putra nggak dapet jawabannya karena saya tanya balik dia juga kenapa putus, eh nggak jawab, yaudah impas yaaaa!

Yaaa… masa pendekatan makin intens SMS-an, telponan, dan sempet makan bareng juga. Oh iya! Sempet balas-balasan status dan komen FB juga yang bahkan sekarang saya jadi nggak berani untuk membacanya. Begitu ngeriiiii.

Lalu pada akhirnya kami pacaran. Saat itu saya kelas X dan Putra kelas XI.

Sempat LDR setahun dan sok-sok-an break pacaran, saat Putra kuliah di Jogja. Tapi nggak lama kemudian saya juga kuliah di universitas yang sama. Don’t get me wrong, bukan karena ngikutin Putra ya! Lalu, pacaran lagi hahaha break ala-ala soalnya tetep aja komunikasi dan sayang-sayangan.

first selfie, 2012

How We Deal with Relationship

Nggak sedikit yang tanya kok bisa langgeng sih (sekarang bahkan bisa sampai menikah)? Sebenarnya hmmm… no reason, really. Bingung juga kenapa. Banyak cowok yang blablabla daripada Putra. Dan pastinya banyak cewek yang blablabla daripada saya. But ended up by sticking together! Tapi, kalau ditelusuri secara reflektif, saya dan Putra menemukan beberapa kunci utama yang jadi pondasi sejak awal pacaran, hingga kami akhirnya menikah:

💕 Komitmen. Sebelum membangun komitmen dengan yang lain, bangun dulu komitmen dalam diri. Oleh karenanya, penting untuk menentukan konsep pacaran–main-main, coba-coba, atau serius. Saya pilih serius… tapi santai. Saya nggak mau dong menguras emosi dan waktu untuk putus-cari yang baru-pendekatan lagi-marahan tanpa solusi-putus, on repeat. Jadi rumus saya, kalau saya serius, saya jangan ‘rewel’ (menuntut hal dengan berlebihan). Kalau saya nggak santai, means ada yang salah dengan saya (bisa berarti saya posesif, main tangan, main hati, dll). Setelah itu samakan frekuensi dengan pacar. Contohnya: Waktu pacaran pertama kali, saya serius. Tapi ternyata, dia nggak santai (main hati). Berarti kita nggak sejalan, end. Nah kalau sama Putra, kami sempat bahas untuk serius setelah kejadian si Putra yang hampir nggak santai di tahun pertama pacaran. Kalau nggak salah dulu saya tanting si Putra, kasarannya: aku kurangnya apa dan sekarang kamu mau gimana. Kalau dari saya, you mau berteman, berkomunikasi, atau berhubungan dengan siapa saja, monggo. Tapi you kalau nemu yang lain, bilang aja nggak usah diem-diem. Inget bener saya waktu itu ngomong kurang lebih seperti itu. Inget juga deh waktu itu Putra jemput saya sekolah, dan saya abis nge-MOS wkwkwk.

💕 Komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, di situ ada kepercayaan. Dulu awal-awal pacaran saya selalu ngedumel sendiri, kesel sendiri. Setiap ditanya kenapa, jawabnya ‘nggak pa pa’. Akhirnya Putra ngotot, kalau saya nggak cerita, dia mana tau akar masalahnya. Akhirnya mulailah terbuka. Kunci kami tiap ada yang mengganjal di hati adalah share and solve it (and make sure your stomach is full). Kalau lagi marahan, komunikasikan dan tentukan solusi. Tentu perut harus udah kenyang atau makan dulu. Soalnya kalo abis makan, entah kenapa pasti adem lagi dan ngobrolnya nggak pake emosi. Hahaha. Jadi, saling terbuka, menceritakan keseharian, perasaan, dan… (agak melencong) bergosyip untuk berdua aja dan seru-seru aja.

💕 Refleksi. Saya dan Putra jarang banget menghadapi marahan yang sangat serius. Itu karena kami sama-sama mencoba telusuri dengan refleksi atau introspeksi diri. Dengan refleksi, jadinya bisa ketemu alasan yang mendasari suatu perdebatan. Kalau saya biasanya merunut awal sampai akhirnya hingga terjadi perdebatan. Pasti berakhir dengan, saya yang ‘salah’. Salah dalam artian I shouldn’t act like that and should try to understand and be patient even more and more. Dengan refleksi diri menjadikan kami rendah hati dan saling minta maaf/memaafkan. Tapi refleksinya Putra lama bener sampe saya keselnya naik kelas hahaha. Jadi kadang kalo lagi gemes sama Putra, saya ngasih soal ke Putra untuk menebak saya kesel kenapa, dan momen refleksinya butuh waktu yang lumayan sampe saya didiemin. Naik kelas deh kekeselan saya wkwk. (Welcome another problem, huh? Hahaha). Saya pernah tuh buat peraturan: kalau berantem, masanya sehari aja. Jadi, segera share and solve the problem karena saya tidak mau saat berkeseharian ada sisa-sisa emosi yang menyebabkan kelabilan. Putra pun demikian.

Setelah marahan dan refleksi bareng di Pantai Depok sambil menunggu sunset. Seniat itu ya demi aman nyaman kembali. Hehehe.
Lagi mogok ngobrol sama Putra terus langsung dibawa aja ke pantai.

💕 Hore-hore-an. Alay? Biarin! Karena ini kebutuhan. Kebutuhan yang menyangkut sebuah keharmonisan dalam hubungan cielaaah. Saya dan Putra rajin bener update tanggal jadi tiap bulannya di Instagram. Misalnya bulan ini saya yang posting, bulan depannya Putra, selanjutnya saya, dst. Gantian gitu. Hal kecil gitu bikin berbunga lho. Kadang menantikan caption yang ditulis. Jadi rasa cintanya diisi ulang terus. Meski lama-lama tradisi itu mandhek, tapi ada cara lain. Kadang juga saya memanggil Putra dengan panggilan lain selain sayang. Misalnya, pangeran tak berkudaku hahahaha. LOL. Simple things that matter pokoknya.

Sok puitis yeeee. Dan berharap Putra juga puitis—-
Eitssss kok… puitis banget ya sampe kagak paham gueee

Kami putus-nyambung lho. Tapi putusnya paling lama dua hari, lalu balikan lagi. LOL. Itu pun memutuskan untuk putus-nya saat pacaran udah di tahun kelima. Seingat saya akar masalahnya selalu sama, yaitu personality. Situasinya pun sama-sama sedang sibuk kuliah. Jadi kelabilan terjadi. Eh tapi terbukti kan pada akhirnya ya kembali bersama, meski ke-illfeel-an sering terjadi.

Baca juga: Pasangan Hidup: Di Tangan Siapa?

Dalam lima tahun berpacaran, kami nggak pernah state putus karena ada poin penting dalam pikiran saya: “Am I looking for perfect half? But nobody’s perfect. I will always find other shortcomings in someone else. And it’s so tiresome.So the best way is to deal with this relationship.

I look for better half to complete me. And Putra is the only one.

 

 

Sharing is caring.

Love,

 

 

Copyright: Text & Photo by marthagiotita La Young Mama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *